Siapa yang tidak kenal Desa Kebarepan Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon. Di desa ini sebagian besar warganya memiliki keahlian khusus dalam membuat beragam sandal. Pangsa pasarnya pun telah merambah hingga mancanegara. Bahkan Kebarepan Desa yang tepat berada di jalur pantura itu prudaknya sandalnya menjadi salah satu ikon Cirebon.
Sekitar tahun 1984-1996, nama Desa Kebarepan terkenal di kalangan pengusaha Afrika. Bagaimana tidak? Keahlian masyarakatnya membuat sandal dengan beragam warna dan bahan dasarnya dari plastik/karet bekas, membuahkan hasil yang luar biasa bagi peningkatan ekonomi masyarakat sekitar.
“Setidaknya pada tahun itulah pengusaha sandal yang tertarik dengan ajakan pengusaha Afrika untuk membuat sandal sebanyak-banyaknya dan menjual dengan harga murah kepada mereka, benar-benar dilimpahi keuntungan,” kata Toto (41) salah satu pengrajin sandal berepan yang masih bertahan hingga saat ini.
Menurutnya, saat itu, tidak sedikit masyarakat yang tertarik ke dalam bisnis ini. Dari pengusaha besar sampai mereka yang hanya mampu bermain di home industry. Semuanya hampir rata mendapat penghasilan yang berlimpah karena pesanan pengusaha Afrika.
“Pokoknya, semua masyarakat berlomba-lomba membuat sandal untuk mencari keuntungan yang tinggi,” ungkap bapak dua anak ini.
Akibat tingginya pesanan dari para pengusaha Afrika, para pengusaha sandal kebarepan nyaris tak menyentuh pasar lokal. Mereka mengabaikan pesanan dari pasar lokal. Semua konsentrasi hanya jatuh untuk memenuhi pesanan dari para pengusaha Afrika dan negara lainnya.
Di masa jayanya, kata Toto, dirinya bersama bapaknya sempat mengenyam manisnya pesanan dari Afrika, bahkan keberhasilan itu meningkat tajam pada kondisi ekonominya.
“Dulu saya hanya bantu-bantu bapak saja, dan kini kami sekeluarga buat sandal,” kata warga Jalan Blimbing Blok Desa RT/003 RW/002 Desa Barepan ini.
Dia meceritakan di sela kesibukannya membuat sandal pesananan pengusaha asal Surabaya. Menurutnya, kejayaan sandal kebarepan mencapai puncaknya pada tahun 1999. Dan saat itu hambir 90 persen penduduk di sini membuat sandal, dari tua, muda hingga kakek-kakek, apa yang mereka bisa kerjakan mereka lakukan.
“Hanya saja saat itu, unsur kualitas tidak lagi jadi bahan pertimbangan, para pengusaha sandal kebarepan terus saja memenuhinya. Dari sinilah titik kejatuhan dimulai, setelah para pengusaha dari Afrika dan Timur Tengah tidak lagi menjatuhkan pesanan pada sandal kebarepan,”katanya.
Berbarengan dengan itu, sambung dia, jatuh pula para pengusaha sandal kebarepan termasuk home industry yang awalnya hanya memenuhi pesanan untuk ekspor. Seiring dengan semakin langkanya pesanan dari Timur Tengah dan tidak tergarapnya pasar lokal, satu persatu pengusaha dan home industry sandal di Desa Kebarepan hancur.
“Untuk saat ini paling sekitar 10 orang saja yang menjadi pengrajin sandal barepan, selebihnya gulung tikar,” ucap dia.
Kehancuran itu berlanjut dengan mulai maraknya pengusaha sejenis, di Bogor dan Bandung serta kota-kota lainnya. Yang berdampak kepada warga Desa Kebarepan yang telah memiliki keahlian membuat sandal dengan masih cara tradisional, karena pemebli banyak memilih prodak tersebut.
“Kalaupun sekarang ini produksi sandal kebarepan masih bertahan itu pun jumlahnya sudah sangat sedikit. Bahkan, hanya ada beberapa home industry yang membuat satu jenis sandal saja, untuk kepentingan hotel, dan pelangan yang masih percaya terhadap kualitas sandal barepan,”katanya.
Diakui Wawan, dengan konsisten bermain di pasar lokal, ia termasuk satu-satunya pengusaha sandal kebarepan yang bertahan hingga kini. Setidaknya dalam satu bulan ia masih mampu melakukan penjualan di angka Rp4-6 juta.
“Kunci lainnya, saya harus benar-benar kreatif dan mengikuti perkembangan. Dan meningkatkan kwalitas garapan sandalnya,” katanya.
Bertahan untuk tidak gulung tikar, kata dia, ternyata tidak hanya cukup dengan terobosan baru dan kreatifitas yang terus menerus diasah. Hal lain yang sulit dikejar adalah harga bahan baku. Bahan baku yang cenderung naik membuat pengusaha kesulitan. Meskipun ada dua pilihan bahan baku, limbah plastik/karet dan orisinal dengan harga diukur permili, tetap saja tidak membantu untuk mempertahankan harga murah dengan kualitas baik.
“Harganya kan berpareasi mulai dari Rp 14 ribu hingga Rp 22 ribu, ya sesuai ukuran saja. Sedangkan untuk bahan baku perlembar dengan ukuran 2,10x110 centimeter di beli seharga R36 ribu. Dan bias untuk 35 pasang sandal,” katanya.
Pengadaan bahan baku sampai saat ini dipenuhi dari wilayah Tangerang atau beli dari pengusaha setempat, meskipun ada daerah lain yang mampu memproduksi, namun menurut dia, harganya jauh lebih tinggi. Nyatanya, sampai saat ini ia mampu memenuhi pesanan dari berbagai kota di luar wilayah Jawa, seperti Pontianak, Makasar, Manado, Banjarmasin, Lampung dan Medan.
“Pesanan dari wilayah itu biasanya berupa sandal berkarakter (sandal yang bermotif,-red). Insya Allah meskipun pemasarannya masih tradisonal dan hubungan lewat telefon kami masih bisa memenuhinya,” katanya.
Itulah sebabnya, dia sangat berharap, pemerintah daerah mampu membuka akses marketing yang lebih terarah karena ternyata selama ini home industry dan pengusaha sandal kebarepan tak tersentuh perhatian dari pemerintah sekalipun hanya pemerintah daerah setempat.
“Sebetulnya untuk bahan baku tidak sulit di dapat, yang sulit itu permodalan, dan pemerintah seharusnya mefasilitasi masalah yang sedang kami hadapi,” imbuhnya.
Sumber
Sekitar tahun 1984-1996, nama Desa Kebarepan terkenal di kalangan pengusaha Afrika. Bagaimana tidak? Keahlian masyarakatnya membuat sandal dengan beragam warna dan bahan dasarnya dari plastik/karet bekas, membuahkan hasil yang luar biasa bagi peningkatan ekonomi masyarakat sekitar.
“Setidaknya pada tahun itulah pengusaha sandal yang tertarik dengan ajakan pengusaha Afrika untuk membuat sandal sebanyak-banyaknya dan menjual dengan harga murah kepada mereka, benar-benar dilimpahi keuntungan,” kata Toto (41) salah satu pengrajin sandal berepan yang masih bertahan hingga saat ini.
Menurutnya, saat itu, tidak sedikit masyarakat yang tertarik ke dalam bisnis ini. Dari pengusaha besar sampai mereka yang hanya mampu bermain di home industry. Semuanya hampir rata mendapat penghasilan yang berlimpah karena pesanan pengusaha Afrika.
“Pokoknya, semua masyarakat berlomba-lomba membuat sandal untuk mencari keuntungan yang tinggi,” ungkap bapak dua anak ini.
Akibat tingginya pesanan dari para pengusaha Afrika, para pengusaha sandal kebarepan nyaris tak menyentuh pasar lokal. Mereka mengabaikan pesanan dari pasar lokal. Semua konsentrasi hanya jatuh untuk memenuhi pesanan dari para pengusaha Afrika dan negara lainnya.
Di masa jayanya, kata Toto, dirinya bersama bapaknya sempat mengenyam manisnya pesanan dari Afrika, bahkan keberhasilan itu meningkat tajam pada kondisi ekonominya.
“Dulu saya hanya bantu-bantu bapak saja, dan kini kami sekeluarga buat sandal,” kata warga Jalan Blimbing Blok Desa RT/003 RW/002 Desa Barepan ini.
Dia meceritakan di sela kesibukannya membuat sandal pesananan pengusaha asal Surabaya. Menurutnya, kejayaan sandal kebarepan mencapai puncaknya pada tahun 1999. Dan saat itu hambir 90 persen penduduk di sini membuat sandal, dari tua, muda hingga kakek-kakek, apa yang mereka bisa kerjakan mereka lakukan.
“Hanya saja saat itu, unsur kualitas tidak lagi jadi bahan pertimbangan, para pengusaha sandal kebarepan terus saja memenuhinya. Dari sinilah titik kejatuhan dimulai, setelah para pengusaha dari Afrika dan Timur Tengah tidak lagi menjatuhkan pesanan pada sandal kebarepan,”katanya.
Berbarengan dengan itu, sambung dia, jatuh pula para pengusaha sandal kebarepan termasuk home industry yang awalnya hanya memenuhi pesanan untuk ekspor. Seiring dengan semakin langkanya pesanan dari Timur Tengah dan tidak tergarapnya pasar lokal, satu persatu pengusaha dan home industry sandal di Desa Kebarepan hancur.
“Untuk saat ini paling sekitar 10 orang saja yang menjadi pengrajin sandal barepan, selebihnya gulung tikar,” ucap dia.
Kehancuran itu berlanjut dengan mulai maraknya pengusaha sejenis, di Bogor dan Bandung serta kota-kota lainnya. Yang berdampak kepada warga Desa Kebarepan yang telah memiliki keahlian membuat sandal dengan masih cara tradisional, karena pemebli banyak memilih prodak tersebut.
“Kalaupun sekarang ini produksi sandal kebarepan masih bertahan itu pun jumlahnya sudah sangat sedikit. Bahkan, hanya ada beberapa home industry yang membuat satu jenis sandal saja, untuk kepentingan hotel, dan pelangan yang masih percaya terhadap kualitas sandal barepan,”katanya.
Diakui Wawan, dengan konsisten bermain di pasar lokal, ia termasuk satu-satunya pengusaha sandal kebarepan yang bertahan hingga kini. Setidaknya dalam satu bulan ia masih mampu melakukan penjualan di angka Rp4-6 juta.
“Kunci lainnya, saya harus benar-benar kreatif dan mengikuti perkembangan. Dan meningkatkan kwalitas garapan sandalnya,” katanya.
Bertahan untuk tidak gulung tikar, kata dia, ternyata tidak hanya cukup dengan terobosan baru dan kreatifitas yang terus menerus diasah. Hal lain yang sulit dikejar adalah harga bahan baku. Bahan baku yang cenderung naik membuat pengusaha kesulitan. Meskipun ada dua pilihan bahan baku, limbah plastik/karet dan orisinal dengan harga diukur permili, tetap saja tidak membantu untuk mempertahankan harga murah dengan kualitas baik.
“Harganya kan berpareasi mulai dari Rp 14 ribu hingga Rp 22 ribu, ya sesuai ukuran saja. Sedangkan untuk bahan baku perlembar dengan ukuran 2,10x110 centimeter di beli seharga R36 ribu. Dan bias untuk 35 pasang sandal,” katanya.
Pengadaan bahan baku sampai saat ini dipenuhi dari wilayah Tangerang atau beli dari pengusaha setempat, meskipun ada daerah lain yang mampu memproduksi, namun menurut dia, harganya jauh lebih tinggi. Nyatanya, sampai saat ini ia mampu memenuhi pesanan dari berbagai kota di luar wilayah Jawa, seperti Pontianak, Makasar, Manado, Banjarmasin, Lampung dan Medan.
“Pesanan dari wilayah itu biasanya berupa sandal berkarakter (sandal yang bermotif,-red). Insya Allah meskipun pemasarannya masih tradisonal dan hubungan lewat telefon kami masih bisa memenuhinya,” katanya.
Itulah sebabnya, dia sangat berharap, pemerintah daerah mampu membuka akses marketing yang lebih terarah karena ternyata selama ini home industry dan pengusaha sandal kebarepan tak tersentuh perhatian dari pemerintah sekalipun hanya pemerintah daerah setempat.
“Sebetulnya untuk bahan baku tidak sulit di dapat, yang sulit itu permodalan, dan pemerintah seharusnya mefasilitasi masalah yang sedang kami hadapi,” imbuhnya.
Sumber
maaf kak mau tanya apa kah ada kontak yang bisa di hubungi?
ReplyDelete